BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadis merupakan
sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang membutuhkan
penjagaan dan pengawasan yang ekstra ketat agar dapat sampai kepada kita dengan
utuh tanpa terhindar dari
segala bentuk
keraguan
akan sumber hadis
tersebut.
Untuk menjaga
hadis Nabi-Nya, maka Allah telah menyiapkan generasi pilihan yang memiliki
katrakter cinta terhadap Nabi dan sunnahnya. Hingga didapatkan dari generasi ke
generasi orang-orang yang memiliki karakter-karakter tersebut. Mereka itulah
yang kemudian dikenal dalam islam sebagai tokoh-tokoh pembela hadis dan
penyusunan hadis Nabi saw.
Sehingga pada zaman sekarang ini kita dapat dengan mudah memperoleh sumber
hukum secara lengkap dan sistematik serta dapat melaksanakan atau meneladani
kehidupan Rasullulah saw. untuk beribadah seperti yang dicontohkannya.[1]
Hadits pun
mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Para ahli berbeda pendapat
dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam makalah
ini, penyusun akan membahas tentang periodisasi perkembangan Hadits pada masa
Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa pengetatan periwayatan dan pada masa
memperbanyak periwayatan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa sebutan Hadist pada masa Khulafaur Rosyidin
?
2.
Bagaimanakah Perkembangan Hadist pada masa Khulafaur
Rosyidin ?
3.
Bagaimana Cara sahabat meriwayatkan Hadist ?
4.
Apa saja Lafal yang dipakai sahabat dalam meriwayatkan
Hadist dan derajatnya ?
5.
Apa saja Syarat-syarat yang ditetapkan Abu Bakar, Umar dan Ali ?
6.
Apa Sebab para sahabat tidak membukukan Hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadist pada Masa Khulafaur Rosyidin
Pada
masa ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut
wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat) yang
terjadi pada 12 H sampai 40 H. Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya,
beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu
Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek
kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar,
periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas
dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para
sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat
mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada
dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1. Dengan lafazh
asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal
benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan maknanya
saja; yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari
Nabi SAW.[2]
B.
Perkembangan Hadist pada Masa Khulafaur Rosyidin
Para sahabat pasti melaksanakan perintah Rasulullah SAW dan
menyampaikan amanatnya kepada kaum muslimin, apalagi setelah mereka bertebaran
di berbagai tempat dan menjadi tempat para Tabi’in meminta pertolongan. Salah
satu amanat Nabi adalah berpegang pada hadits / as sunnah.
Di antara para sahabat itu ada yang meriwayatkan banyak
hadits dan ada pula yang sedikit. Termasuk sahabat yag sedikit meriwayatkan hadits
adalah Az-Zubeir, Zaid bin Akrom, dan Imran bin Husein.
Para sahabat pada awalnya sangat
berhati-hati dalam menyampaikan hadits. Bahkan ada diantara mereka yang lebih
baik diam daripada menyampaikan hadits. Karena takut perumusan penyampaiannya
kurang tepat. Khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) sekitar tahun 12 H sampai
dengan tahun 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Berikut ini dikemukakan sikap
al-Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadits nabi :
1. Abu Bakar Al-Shidiq
Abu
Bakar merupakan sahabat nabi yang menunjukkan kehati-hatiannya dalam
meriwayatkan hadits. Pernah suatu ketika seorang nenek menghadap khalifah Abu
Bakar dan meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar
menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Al Qur'an dan praktek nabi yang
memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar bertanya kepada shabat,
dan Al Mughirah bin Syu’bah menyatakan bahwa nabi telah memberikan bagian waris
kepada nenek sebesar seperenam bagian. Beliau mengaku bahwa beliau hadir ketika
Nabi menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut Abu Bakar
meminta agar al-Mugiroh menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhamad bin Maslamah memberikan
saksi atas kebenaran pernyataan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan
warisan nenek sebesar seperenam bagian.
Karena
Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi
bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relatif tidak banyak. Padahal beliau
seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan Rasulullah SAW. Sebab lain, Abu
Bakar meriwayatkan hadits yaitu beliau selalu dalam keadaan sibuk ketika
menjabat sebagai khalifah, kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak zaman
sesudahnya. Serta jarak antara waktu kewafatan beliau dengan kewafatan nabi
sangat singkat.
Jadi,
periwayatan hadits pada masa khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan
kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikatakan
bahwa sikap umat Islam dalam meriwayatkan hadits tampak tidak jauh berbeda
dengan sikap kholifah Abu Bakar, yaitu sangat berhati-hati. Akan tetapi tidak
perlu disalahpahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadits. Bahkan
untuk kepentingan tertentu, hadits nabi ditulisnya.
2. Umar bin Khattab
Tidak
jauh berbeda ketika masa kholifah Abu Bakar, sikap kehati-hatian dalam
meriwayatkan suatu hadits dengan syarat adanya saksipun masih dilakukan oleh
Sayidina Umar. Akan tetapi untuk masalah tertentu, seringkali beliau menerima
periwayatan tanpa syahid dari orang tertentu.
Dengan
tegas, sejarah menerangkan bahwa Umar, ketika memegang kekhalifahan meminta
dengan keras agar para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan
orang memperbanyak periwayatan hadits. Saat mengutus utusan ke Iraq, beliau
mewasiatkan agar utusan-utusan itu mengembangkan Al Qur'an dan mengembangkan
kebagusan tajwidnya. Serta mencegah mereka untuk memperbanyak riwayat.
Diterangkan
bahwa suatu ketika ada orang bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah dia banyak
meriwayatkan hadits di masa umar, dan Abu Hurairah menjawab : Sekiranya saya
membanyakkan hadits Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Umar pernah memenjarakan Ibn Mas’ud, Abu Dar’da
dan Abu Mas’ud al-Anshory karena mereka banyak meriwayatkan hadits. Tetapi
berita ini sulit dipercaya karena :
a. Berita itu berasal dari Sa’ad bin
Ibrohim dari ayahnya, Ibrohim. Menurut penelitian Nur al-din al Haysamy,
Ibrohim lahir pada tahun 20 H dan tidak pernah bertemu dengan Umar. Pasti
ketika itu Ibrahim masih berusia sekitar 3 tahun (Umar wafat tahun 23 H).
b. Jika berita itu benar, pasti akan
ada periwayatan lain yang menyampaikan berita itu. Sebab, ketiga sahabat tadi
adalah orang-orang yang disegani masyarakat baik pada zaman Umar maupun pada
zaman nabi.
Kebijaksanaan Umar melarang para sahabat
memperbanyak periwayatan sesungguhnya tidak berarti bahwa Umar sama sekali
melarang periwayatan hadits. Namun, agar masyarakat lebih berhati-hati dalam
periwayatan hadits dan agar perhatian terhadap Al Qur'an tidak terganggu.
Namun, periwayatan hadits pada masa Umar lebih banyak dilakukan oleh umat Islam
dibanding pada masa Abu Bakar.
3. Utsman bin Affan
Secara
umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa
yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Hanya saja langkahnya tidak
setegas Umar bin al-Khattab. Usman sendiri tampaknya memang tidak banyak
meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits nabi yang berasal
dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadits saja.
Pada
masa Usman dibuka peluang kepada para sahabat untuk meriwayatkan dan
mengumpulkan hadits. Dalam khutbahnya Usman menyampaikan seruan agar umat Islam
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi, seruan itu tidak begitu
besar pengaruhnya. Hal tersebut terjadi karena pribadi Usman tidak sekeras
pribadi Umar. Juga faktor wilayah Islam yang semakin meluas dan mengakibatkan
bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.
4.
Ali bin Abi Thalib
Secara
umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadits nabi setelah periwayat hadits
yang bersangkutan mengucapkan sumpah bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar berasal dari Nabi. Sebenarnya fungsi sumpah dalam periwayatan
hadits bagi Ali bukanlah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits.
Sumpah disanggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits
telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Ali
bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang
diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar antara hukuman denda (diyat),
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir dan larangan melakukan
hukum kisas (qishah) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.
Sikap
kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada masa Khalifah Ali bin Abi
Thalib sama pada masa sebelumnya. Akan tetapi situasi politik pada masa Ali
telah berbeda. Pertentangan politik di kalangan umat Islam makin menajam pada
masa Ali. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah telah terjadi.
Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan
pemalsuan hadits.
Dari uraian
tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijaksanaan Khulafaur Rasyidin tentang
periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
1)
Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap
hati-hati dalam periwayatan hadits.
2)
Larangan memperbanyak periwayatan hadits, terutama pada masa
Umar. Tujuan pokoknya agar periwayat selektif dalam meriwayatkan hadits dan
agar masyarakat tidak berpaling memperhatikan hadits dari pada Al Qur'an.
3)
Pengucapan sumpah dan menghadirkan saksi menjadi salah satu
cara untuk meneliti riwayat hadits. Kecuali orang-orang yang memiliki
kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban tersebut.
4)
Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits.[3]
C.
Cara Sahabat Meriwayatkan Hadist
Adapun cara
para sahabat meriwayatkan hadits ada dua :
1) Ada kalanya dengan lafad asli, yaitu
sesuai lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal dengan lafal
tersebut dari Nabi.
2) Ada kalanya dengan maknanya saja,
yaitu mereka meriwyatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal
lafal aslinya.
Yang
penting dari hadits adalah isi, bahasa dan lafal boleh disusun dengan kata-kata
lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda
dengan meriwayatkan al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli
dan sedikitpun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal
al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh diganti lafal-lafalnya
walaupun dengan sinonimnya, walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak
dibolehkan.
Karena itu, terdapat hadits-hadits yang diriwayatan dengan
beberapa lafal (matan). Lantaran hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat
dengan secara makna.[4]
D.
Lafal yang Dipakai dalam
Meriwayatkan Hadist dan Derajatnya
Lafal-lafal
yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi SAW,
maupun perbuatannya, para ahli ushul membaginya kepada lima derajat:
1. Derajat
pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata, “sami’tu
Rasulallahi yaqulu kadza….. (saya dengar Rosul berkata begini……)”, atau “akhbarani…….(mengabarkan
kepadaku…..)”, atau “haddatsani……(menceritakan kepadaku)”, atau “syafahani……(berbicara
dihadapanku….)”. Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadits.
Riwayat yang serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu
tidak mendengar sendiri.
2. Derajat kedua ialah seorang shahaby
berkata, bersabda Rosul SAW. Begini, atau mengabarkan Rosul SAW.
Begini, atau menceritakan Rosul SAW. Begini. Riwayat ini zhahirny (sahabat
tersebut mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas benar mendengar sendiri). Ada
kemungkinan mendengar dari orang lain. biasa seorang berkata, bersabda
Rosulullah atas dasar berpegang kepada nukilan orang lain, walaupun dia sendiri
tidak mendengarnya.
3. Derajat ketiga ialah seorang shahaby
berkata, “Rasul SAW menyuruh begini, atau menegah(melarang) ini…”
ini dihukumi marfu’ menurut mazhab jumhur. Ada tiga kemungkinan hal ini.
a. Mungkin tidak dengar sendiri
perintah tersebut.
b. Mungkin perkataan “menyuruh” itu
berdasarkan pemahamannya saja.
c. Tentang umum dan khususnya.
4. Derajat keempat ialah seorang shahaby
berkata, “kami diperintahkan begini, atau kami ditegah (dilarang)
begini….”. Ini menerima ketiga kemungkinan(ihtimal) yang telah
diterangkan dan menerima kemungkinan yang keempat, yaitu tentang yang menyuruh,
mungkin Nabi SAW, mungkin orang lain.
5. Derajat kelima ialah seorang shahaby
berkata, “kami para sahabat berbuat begini……” maka jika disandarkan
kepada zaman Rosul, member pengertian boleh. Contoh, perkataan Abu Sa’id, “di
zaman Rosul kami mengelurakan satu gantang gandum untuk zakat fitrah”.[5]
E. Syarat-syarat
yang di tetapkan Abu Bakar, Umar, dan Ali ketika Menerima Hadist
Sahabat secara umum tidak
mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadist dari sesama mereka. Akan tetapi,
yang tidak dapat diingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam
menerima hadist. Dalam keterangan beberapa Atsar, Abu bakar dan Umar
tidak menerima hadist jika tidak di saksikan kebenarannya oleh seseorang yang
lain, seperti yang di riwayatkan oleh As-Shohabi dalam Tadzkirah Al-Hufadz. Menuurut
keterangan Atsar, bahwa Ali tidak menerima Hadist sebelum yang
meriwayatkan itu di sumpah.
Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah, Asy-Syayuthi
dalam Mistah Al-jannah, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam, Syaikhul Islam
dan Syaikhol Islam Syubair Ahmad al-Ustmani dalam fath Al-Mulhin Syarh
Al-Muslim, menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan beliau-beliau itu(
Abu bakar dan Umar ) menerima riwayat orang seorang.
Maka pendapat kami meminta seorang
saksi kepada perawi, bukanlah keharusan, hanya cara untuk menyakinkan dalam
menerima yang di beritakan itu. Jadi, jika di rasakan tidak perlu meminta saksi
atau sumpah perowi, dapatlah kita menerima riwayatnya.
Ibnu Uyainah menetapkan bahwa
“di riwayatkan oleh dua orang” merupakan syarat untuk menshohihkan Hadist.[6]
F. Sebab-sebab
para sahabat tidak membukukan Hadist
Asy-Syaik Abu bakar
Ash-Shiqily berkata dalam faw’id-nya, menurut riwayat ibnu Basyqual, “para
sahabat tidak mengumpuilkan sunnah-sunnah Rosululloh dalam sebuah mushaf
sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah itu telah
tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dari di hafal dan yang tidak.
Karena itu ahlu sunnah menyerahkan perihal penukilan hadist kepada
hafalan-hafalan mereka saja, tidak seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak
menyerahkan penukilannya secara demikian”.
Lafazd-lafazd sunnah tidak terjamin
kesempurnaanya, sebagaimana Alloh SWT telah menjaga al-qur’an dengan nazham-nya,
yang paling indah yang tidak dapat di ciptakan serupanya oleh manusia. Para
sahabat berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan
pembicaraanya. Karena itu tidaklah sah mereka men-tadwin-kan
(membukukan) yang mereka perselisihkan itu
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pada masa Khulafaur Rosyidin Hadist disebut
‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat) yang terjadi pada 12 H sampai 40 H. Nabi SAW wafat pada
tahun 11 H.
2. Para shabat
sangat hati-hati dalam menyampaikan hadits.
3. Dalam meriwayatkan hadist pun para
sahabat mempunyai cara-cara tersendiri, yaitu adakalanya dengan lafal asli dan
adakalanya dalam makna aslinya juga. Karena itu terdapat hadist-hadist yang di
riwayatkan dengan lafalnya. Lantaran hadist-hadist itu diriwayatkan oleh
sahabat dengan secara makna.
4. Lafal-lafal yang dipakai oleh para
sahabat dalam meriwayatkan hadist pun ada tingkatan derajat, ada derajat yang
paling kuat dan derajat shohaby. Juga tentang ketelitian para sahabat dalam
menerima hadist dari sahabat lainnya, mereka sangat hati-hati dalam
menerimanya.
5. Syarat yang ditetapkan Abu Bakar,
Umar dan Ali ialah mengucapkan sumpah dan menghadirkan saksi kepada perowi.
6. Pada masa sahabat hadist belum
sepenuhnya di bukukan dalam sebuah buku, karena hadist-hadist itu tersebar
dalam masyarakat dan tersembunyi dan yang di hafal dari yang tidak.[7]
Hadist masih belum tersebar sangat luas, ini di karenakan pada massa itu masih
terjadi proses pengkondifikasian Al-qur’an, jadi para sahabat dalam
menyampaikan hadist sangat berhati-hati.
B. Daftar
Pustaka
Ø Hasbi, Teungku Muhammad. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadist. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Ø http://radjafamily.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ilmu-hadist-imam-bukhori.html , diakses pada ahad, 14 Februari 2016 pukul 14.00 WIB
Ø http://radjafamily.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ilmu-hadist-imam-bukhori.html, diakses pada ahad, 14 Februari 2016 pukul 14.00 WIB
Ø http://ekagoodlight.blogspot.co.id/2012/05/hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2016 pukul 15.00 WIB
Ø http://ekagoodlight.blogspot.co.id/2012/05/hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2016 pukul 15.00 WIB
[1] http://radjafamily.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ilmu-hadist-imam-bukhori.html, diakses pada ahad, 14 Februari 2016, pukul 14.00
WIB
[2]
http://khaidirsyafruddin.blogspot.co.id/2013/02/sejarah-perkembangan-hadits.html, diakses pada
sabtu, 13 Februari 2016, Pukul 22.00 WIB
[3]
http://ekagoodlight.blogspot.co.id/2012/05/hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin.html,
diakses pada tanggal 14 Februari 2016, Pukul 15.00 WIB
[5] Ibid 40
[6]
Ibid 41
[7] http://frestostudy.blogspot.co.id/2012/01/transmisi-hadits-zaman-sahabat.html, diakses pada
Ahad, 14 Februari 2016 pukul 22.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar