Sabtu, 30 April 2016

Hadist pada masa Khulafaur Rosyidin



BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang Masalah

            Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang membutuhkan penjagaan dan pengawasan yang ekstra ketat agar dapat sampai kepada kita dengan utuh tanpa terhindar dari segala bentuk keraguan akan sumber hadis tersebut.

            Untuk menjaga hadis Nabi-Nya, maka Allah telah menyiapkan generasi pilihan yang memiliki katrakter cinta terhadap Nabi dan sunnahnya. Hingga didapatkan dari generasi ke generasi orang-orang yang memiliki karakter-karakter tersebut. Mereka itulah yang kemudian dikenal dalam islam sebagai tokoh-tokoh pembela hadis dan penyusunan hadis Nabi saw. Sehingga pada zaman sekarang ini kita dapat dengan mudah memperoleh sumber hukum secara lengkap dan sistematik serta dapat melaksanakan atau meneladani kehidupan Rasullulah saw. untuk beribadah seperti yang dicontohkannya.[1]

            Hadits pun mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan periodisasi pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam makalah ini, penyusun akan membahas tentang periodisasi perkembangan Hadits pada masa Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa pengetatan periwayatan dan pada masa memperbanyak periwayatan.
 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa sebutan Hadist pada masa Khulafaur Rosyidin ?
2.      Bagaimanakah Perkembangan Hadist pada masa Khulafaur Rosyidin ?
3.      Bagaimana Cara sahabat meriwayatkan Hadist ?
4.      Apa saja Lafal yang dipakai sahabat dalam meriwayatkan Hadist dan derajatnya ?
5.      Apa saja Syarat-syarat yang ditetapkan Abu Bakar, Umar dan Ali ?
6.      Apa Sebab para sahabat tidak membukukan Hadist


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Hadist pada Masa Khulafaur Rosyidin
            Pada masa ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat) yang terjadi pada 12 H sampai 40 H. Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.

            Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni:
1.      Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja; yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi SAW.[2]

B.     Perkembangan Hadist pada Masa Khulafaur Rosyidin
            Para sahabat pasti melaksanakan perintah Rasulullah SAW dan menyampaikan amanatnya kepada kaum muslimin, apalagi setelah mereka bertebaran di berbagai tempat dan menjadi tempat para Tabi’in meminta pertolongan. Salah satu amanat Nabi adalah berpegang pada hadits / as sunnah.

            Di antara para sahabat itu ada yang meriwayatkan banyak hadits dan ada pula yang sedikit. Termasuk sahabat yag sedikit meriwayatkan hadits adalah Az-Zubeir, Zaid bin Akrom, dan Imran bin Husein.
            Para sahabat pada awalnya sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadits. Bahkan ada diantara mereka yang lebih baik diam daripada menyampaikan hadits. Karena takut perumusan penyampaiannya kurang tepat. Khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) sekitar tahun 12 H sampai dengan tahun 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.

            Berikut ini dikemukakan sikap al-Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadits nabi :
1.      Abu Bakar Al-Shidiq
            Abu Bakar merupakan sahabat nabi yang menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernah suatu ketika seorang nenek menghadap khalifah Abu Bakar dan meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Al Qur'an dan praktek nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar bertanya kepada shabat, dan Al Mughirah bin Syu’bah menyatakan bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Beliau mengaku bahwa beliau hadir ketika Nabi menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyataan tersebut Abu Bakar meminta agar al-Mugiroh menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhamad bin Maslamah memberikan saksi atas kebenaran pernyataan al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan warisan nenek sebesar seperenam bagian.
           
            Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadits yang diriwayatkannya relatif tidak banyak. Padahal beliau seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan Rasulullah SAW. Sebab lain, Abu Bakar meriwayatkan hadits yaitu beliau selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat sebagai khalifah, kebutuhan terhadap hadits tidak sebanyak zaman sesudahnya. Serta jarak antara waktu kewafatan beliau dengan kewafatan nabi sangat singkat.

            Jadi, periwayatan hadits pada masa khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa sikap umat Islam dalam meriwayatkan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap kholifah Abu Bakar, yaitu sangat berhati-hati. Akan tetapi tidak perlu disalahpahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadits. Bahkan untuk kepentingan tertentu, hadits nabi ditulisnya.

2.      Umar bin Khattab
            Tidak jauh berbeda ketika masa kholifah Abu Bakar, sikap kehati-hatian dalam meriwayatkan suatu hadits dengan syarat adanya saksipun masih dilakukan oleh Sayidina Umar. Akan tetapi untuk masalah tertentu, seringkali beliau menerima periwayatan tanpa syahid dari orang tertentu.

            Dengan tegas, sejarah menerangkan bahwa Umar, ketika memegang kekhalifahan meminta dengan keras agar para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang memperbanyak periwayatan hadits. Saat mengutus utusan ke Iraq, beliau mewasiatkan agar utusan-utusan itu mengembangkan Al Qur'an dan mengembangkan kebagusan tajwidnya. Serta mencegah mereka untuk memperbanyak riwayat.

            Diterangkan bahwa suatu ketika ada orang bertanya kepada Abu Hurairah : Apakah dia banyak meriwayatkan hadits di masa umar, dan Abu Hurairah menjawab : Sekiranya saya membanyakkan hadits Umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.

            Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Umar pernah memenjarakan Ibn Mas’ud, Abu Dar’da dan Abu Mas’ud al-Anshory karena mereka banyak meriwayatkan hadits. Tetapi berita ini sulit dipercaya karena :
a.       Berita itu berasal dari Sa’ad bin Ibrohim dari ayahnya, Ibrohim. Menurut penelitian Nur al-din al Haysamy, Ibrohim lahir pada tahun 20 H dan tidak pernah bertemu dengan Umar. Pasti ketika itu Ibrahim masih berusia sekitar 3 tahun (Umar wafat tahun 23 H).
b.      Jika berita itu benar, pasti akan ada periwayatan lain yang menyampaikan berita itu. Sebab, ketiga sahabat tadi adalah orang-orang yang disegani masyarakat baik pada zaman Umar maupun pada zaman nabi.

      Kebijaksanaan Umar melarang para sahabat memperbanyak periwayatan sesungguhnya tidak berarti bahwa Umar sama sekali melarang periwayatan hadits. Namun, agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan agar perhatian terhadap Al Qur'an tidak terganggu. Namun, periwayatan hadits pada masa Umar lebih banyak dilakukan oleh umat Islam dibanding pada masa Abu Bakar.

3.      Utsman bin Affan
            Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya. Hanya saja langkahnya tidak setegas Umar bin al-Khattab. Usman sendiri tampaknya memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh hadits saja.

            Pada masa Usman dibuka peluang kepada para sahabat untuk meriwayatkan dan mengumpulkan hadits. Dalam khutbahnya Usman menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Akan tetapi, seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya. Hal tersebut terjadi karena pribadi Usman tidak sekeras pribadi Umar. Juga faktor wilayah Islam yang semakin meluas dan mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.

4.      Ali bin Abi Thalib
            Secara umum, Ali baru bersedia menerima riwayat hadits nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi. Sebenarnya fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi Ali bukanlah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah disanggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.

            Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar antara hukuman denda (diyat), pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir dan larangan melakukan hukum kisas (qishah) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.

            Sikap kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib sama pada masa sebelumnya. Akan tetapi situasi politik pada masa Ali telah berbeda. Pertentangan politik di kalangan umat Islam makin menajam pada masa Ali. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemalsuan hadits.

            Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa kebijaksanaan Khulafaur Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
1)      Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits.
2)      Larangan memperbanyak periwayatan hadits, terutama pada masa Umar. Tujuan pokoknya agar periwayat selektif dalam meriwayatkan hadits dan agar masyarakat tidak berpaling memperhatikan hadits dari pada Al Qur'an.
3)      Pengucapan sumpah dan menghadirkan saksi menjadi salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Kecuali orang-orang yang memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban tersebut.
4)      Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits.[3]

C.    Cara Sahabat Meriwayatkan Hadist
            Adapun cara para sahabat meriwayatkan hadits ada dua :
1)      Ada kalanya dengan lafad asli, yaitu sesuai lafal yang mereka terima dari nabi yang mereka hafal dengan lafal tersebut dari Nabi.
2)      Ada kalanya dengan maknanya saja, yaitu mereka meriwyatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafal aslinya.
Yang penting dari hadits adalah isi, bahasa dan lafal boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda dengan meriwayatkan al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli dan sedikitpun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu. Susunan lafal al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya, walaupun sama isinya, tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan.
Karena itu, terdapat hadits-hadits yang diriwayatan dengan beberapa lafal (matan). Lantaran hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.[4]
D.    Lafal yang Dipakai dalam Meriwayatkan Hadist dan Derajatnya
            Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi SAW, maupun perbuatannya, para ahli ushul membaginya kepada lima derajat:

1.      Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata, “sami’tu Rasulallahi yaqulu kadza….. (saya dengar Rosul berkata begini……)”, atau “akhbarani…….(mengabarkan kepadaku…..)”, atau “haddatsani……(menceritakan kepadaku)”, atau “syafahani……(berbicara dihadapanku….)”. Inilah bunyi riwayat yang terpokok dalam menyampaikan hadits. Riwayat yang serupa ini, tidak memungkinkan kita memahamkan bahwa sahabat itu tidak mendengar sendiri.
2.      Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rosul SAW. Begini, atau mengabarkan Rosul SAW. Begini, atau menceritakan Rosul SAW. Begini. Riwayat ini zhahirny (sahabat tersebut mendengar sendiri. Tetapi tidak tegas benar mendengar sendiri). Ada kemungkinan mendengar dari orang lain. biasa seorang berkata, bersabda Rosulullah atas dasar berpegang kepada nukilan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mendengarnya.
3.      Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata, “Rasul SAW menyuruh begini, atau menegah(melarang) ini…” ini dihukumi marfu’ menurut mazhab jumhur. Ada tiga kemungkinan hal ini.
a.     Mungkin tidak dengar sendiri perintah tersebut.
b.    Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan pemahamannya saja.
c.     Tentang umum dan khususnya.
4.      Derajat keempat ialah seorang shahaby berkata, “kami diperintahkan begini, atau kami ditegah (dilarang) begini….”. Ini menerima ketiga kemungkinan(ihtimal) yang telah diterangkan dan menerima kemungkinan yang keempat, yaitu tentang yang menyuruh, mungkin Nabi SAW, mungkin orang lain.
5.      Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “kami para sahabat berbuat begini……” maka jika disandarkan kepada zaman Rosul, member pengertian boleh. Contoh, perkataan Abu Sa’id, “di zaman Rosul kami mengelurakan satu gantang gandum untuk zakat fitrah”.[5]

E.     Syarat-syarat yang di tetapkan Abu Bakar, Umar, dan Ali ketika Menerima Hadist
            Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadist dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat diingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadist. Dalam keterangan beberapa Atsar, Abu bakar dan Umar tidak menerima hadist jika tidak di saksikan kebenarannya oleh seseorang yang lain, seperti yang di riwayatkan oleh As-Shohabi dalam Tadzkirah Al-Hufadz. Menuurut keterangan Atsar, bahwa Ali tidak menerima Hadist sebelum yang meriwayatkan itu di sumpah.

            Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah, Asy-Syayuthi dalam Mistah Al-jannah,  Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam, Syaikhul Islam dan Syaikhol Islam Syubair Ahmad al-Ustmani dalam fath Al-Mulhin Syarh Al-Muslim, menerangkan riwayat-riwayat yang menegaskan beliau-beliau itu( Abu bakar dan Umar ) menerima riwayat orang seorang.

            Maka pendapat kami meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah keharusan, hanya cara untuk menyakinkan dalam menerima yang di beritakan itu. Jadi, jika di rasakan tidak perlu meminta saksi atau sumpah perowi, dapatlah kita menerima riwayatnya.
           
            Ibnu Uyainah  menetapkan bahwa “di riwayatkan oleh dua orang” merupakan syarat untuk menshohihkan Hadist.[6]

F.     Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan Hadist
            Asy-Syaik Abu bakar Ash-Shiqily berkata dalam faw’id-nya, menurut riwayat ibnu Basyqual, “para sahabat tidak mengumpuilkan sunnah-sunnah Rosululloh dalam sebuah mushaf sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al-Qur’an, karena sunnah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi yang dari di hafal dan yang tidak. Karena itu ahlu sunnah menyerahkan perihal penukilan hadist kepada hafalan-hafalan  mereka saja, tidak seperti halnya Al-Qur’an, mereka tidak menyerahkan penukilannya secara demikian”.
           
            Lafazd-lafazd sunnah tidak terjamin kesempurnaanya, sebagaimana Alloh SWT telah menjaga al-qur’an dengan nazham-nya, yang paling indah yang tidak dapat di ciptakan serupanya oleh manusia. Para sahabat berselisih mengenai lafal-lafal sunnah dan penukilan susunan pembicaraanya. Karena itu tidaklah sah mereka men-tadwin-kan (membukukan) yang mereka perselisihkan itu

























BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pada masa Khulafaur Rosyidin Hadist  disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat) yang terjadi pada 12 H sampai 40 H. Nabi SAW wafat pada tahun 11 H.
2.      Para shabat sangat hati-hati dalam menyampaikan hadits.
3.      Dalam meriwayatkan hadist pun para sahabat mempunyai cara-cara tersendiri, yaitu adakalanya dengan lafal asli dan adakalanya dalam makna aslinya juga. Karena itu terdapat hadist-hadist yang di riwayatkan dengan lafalnya. Lantaran hadist-hadist itu diriwayatkan oleh sahabat dengan secara makna.
4.      Lafal-lafal yang dipakai oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadist pun ada tingkatan derajat, ada derajat yang paling kuat dan derajat shohaby. Juga tentang ketelitian para sahabat dalam menerima hadist dari sahabat lainnya, mereka sangat hati-hati dalam menerimanya.
5.      Syarat yang ditetapkan Abu Bakar, Umar dan Ali ialah mengucapkan sumpah dan menghadirkan saksi kepada perowi.
6.      Pada masa sahabat hadist belum sepenuhnya di bukukan dalam sebuah buku, karena hadist-hadist itu tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi dan yang di hafal dari yang tidak.[7] Hadist masih belum tersebar sangat luas, ini di karenakan pada massa itu masih terjadi proses pengkondifikasian Al-qur’an, jadi para sahabat dalam menyampaikan hadist sangat berhati-hati.

           







B.     Daftar Pustaka
Ø  Hasbi, Teungku Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Ø  http://radjafamily.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ilmu-hadist-imam-bukhori.html , diakses pada ahad, 14 Februari 2016 pukul 14.00 WIB
Ø  http://radjafamily.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ilmu-hadist-imam-bukhori.html, diakses pada ahad, 14 Februari 2016 pukul 14.00 WIB
Ø  http://ekagoodlight.blogspot.co.id/2012/05/hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2016 pukul 15.00 WIB
Ø  http://ekagoodlight.blogspot.co.id/2012/05/hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2016 pukul 15.00 WIB




                [1] http://radjafamily.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ilmu-hadist-imam-bukhori.html,  diakses pada ahad, 14 Februari 2016, pukul 14.00 WIB
                [2] http://khaidirsyafruddin.blogspot.co.id/2013/02/sejarah-perkembangan-hadits.html, diakses pada sabtu, 13 Februari 2016, Pukul  22.00 WIB
                [3] http://ekagoodlight.blogspot.co.id/2012/05/hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin.html, diakses pada tanggal 14 Februari 2016, Pukul 15.00 WIB
                [4] Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2009), 39
[5] Ibid 40
[6] Ibid 41
[7] http://frestostudy.blogspot.co.id/2012/01/transmisi-hadits-zaman-sahabat.html, diakses pada Ahad, 14 Februari 2016 pukul 22.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar